Jumat, 30 Oktober 2009

UU no 23 tahun 1997 tentang lingkungan hidup

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 1997

TENTANG

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
  2. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;
  3. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
  4. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup;
  5. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
  6. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
Mengingat :

    Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

  1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain;
  2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan. pemanfaatan,, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup;
  3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan;
  4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup;
  5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
  6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
  7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
  8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya;
  9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
  10. Sumber daya adalah unsur lingkungan bidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan sumber daya buatan;
  11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
  12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
  13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang;
  14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan;
  15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya;
  16. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
  17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
  18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain;
  19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
  20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
  21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan;
  22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup;
  23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
  24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
  25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.

Pasal 2

Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ber-Wawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.


BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN

Pasal 3

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pasal 4

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :

  1. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup;
  2. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
  3. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
  4. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
  5. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
  6. terlindungnya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;

BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 5

  1. Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
  2. Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
  3. Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

  1. Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
  2. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 7

  1. Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup
  2. Pelaksanaan ketentuan pada ayat 1 di atas, dilakukan dengan cara :
    1. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
    2. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat
    3. menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
    4. memberikan saran pendapat;
    5. menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 8

  1. Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah.
  2. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah :
    1. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup;
    2. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam, termasuk sumber daya genetika;
    3. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan/atau subyek hukum lainnya serta perbuatan hukum terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk sumber daya genetika;
    4. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
    5. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

  1. Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
  2. Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi peinerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
  3. Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam nonhayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
  4. Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikoordinasi oleh Menteri.

Pasal 10

Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban:

  1. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran dan tanggung awab para pengambil keputusan dalam pengelolaan lingkungan hidup;
  2. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup;
  3. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
  4. mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
  5. mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif, preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
  6. memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan hidup;
  7. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang lingkungan hidup;
  8. menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya kepada masyarakat;
  9. memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di bidang lingkungan hidup.

Pasal 11

  1. Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
  2. Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 12

  1. Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat :
    1. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah;
    2. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah.
  2. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

  1. Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
  2. Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 14

  1. Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
  2. Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  3. Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

  1. Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
  2. Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan. yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
  2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak lain.
  3. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 17

  1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
  2. Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
  3. Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama
Perizinan

Pasal 18

  1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
  2. Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian dampak lingkungan hidup.

Pasal 19

  1. Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diperhatikan :
    1. rencana tata ruang;
    2. pendapat masyarakat;
    3. pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.
  2. Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.

Pasal 20

  1. Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
  2. Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
  3. Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.
  4. Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri.
  5. Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan beracun.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 22

  1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
  2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
  3. Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 23

Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk itu oleh Pemerintah.

Pasal 24

  1. Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
  2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  3. Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

Bagian Ketiga
Sanksi Administrasi

Pasal 25

  1. Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
  2. Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan Daerah Tingkat I.
  3. Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagamana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
  4. Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
  5. Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu.

Pasal 26

  1. Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
  2. Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27

  1. Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
  2. Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
  3. Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.

Bagian Keempat
Audit Lingkungan Hidup

Pasal 28

Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup.

Pasal 29

  1. Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
  2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
  4. Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
  5. Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama
Umum

Pasal 30

  1. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
  2. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
  3. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
di Luar Pengadilan

Pasal 31

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Pasal 32

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 33

  1. Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak.
  2. Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup
Melalui Pengadilan

Paragraf 1
Ganti Rugi

Pasal 34

  1. Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.
  2. Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.

Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 35

  1. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
  2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
    1. adanya bencana alam atau peperangan; atau
    2. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
    3. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
  3. Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Paragraf 3
Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Pasal 36

  1. Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
  2. Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun.

Paragraf 4
Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup
Untuk Mengajukan Gugatan

Pasal 37

  1. Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
  2. Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.
  3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pcmerintah.

Pasal 38

  1. Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
  2. Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
  3. Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan :
    1. berbentuk badan hukum atau yayasan;
    2. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
    3. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Pasal 39

Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang, masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum Acara Perdata yang berlaku.


BAB VIII
PENYIDIKAN

Pasal 40

  1. Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan 1ingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
  2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
    1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
    2. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
    4. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
    5. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
    6. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
  3. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  4. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
  5. Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleb penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 41

  1. Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 42

  1. Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00(seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 43

  1. Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
  2. Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
  3. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 44

  1. Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (figa) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 45

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 46

  1. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
  3. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
  4. Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Pasal 47

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa :

  1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
  2. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
  3. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
  4. mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
  5. meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun

Pasal 48

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.


BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 49

  1. Selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang-undang ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undang-undang ini.
  2. Sejak diundangkannya Undang-undang ini dilarang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan limbah bahan berbahaya dan beracun yang diimpor.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 50

Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 51

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 52

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997

PRESIDEN REPUBLIK NDONESIA




ttd

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA


REPUBLIK INDONESIA

ttd

M O E R D I O N O


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 68


Kamis, 22 Oktober 2009

NOMOR 21 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI KEBERSIHAN

1
PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA
NOMOR 21 TAHUN 2002
TENTANG
RETRIBUSI KEBERSIHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA YOGYAKARTA


Menimbang a. bahwa Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor
34 Tahun 2000 merupakan dasar pengaturan pajak dan retribusi yang baru,
maka ketentuan-ketentuan yang mengatur retribusi dalam Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1995 tentang
Persampahan sudah tidak sesuai lagi, oleh karena itu harus dicabut dan
diganti;
b. bahwa untuk melaksanakan maksud tersebut di atas perlu ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
Mengingat 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerahdaerah
Kota Besar Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Jawa Barat dan Dalam Daerah Istimewa Yogyakarta;
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34
Tahun 2000;
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah;
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 2 Tahun
1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah
Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta;
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 1 Tahun
1992 tentang Yogyakarta Berhati Nyaman;
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Daerah;
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2002 tentang
Pengelolaan Kebersihan.
Memperhatikan 1.
2.
3.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 tentang Pedoman
Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah;
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 175 Tahun 1997 tentang Tata Cara
Pemeriksaan di Bidang Retribusi Daerah;
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 147 Tahun 1998 tentang
Komponen Penetapan Tarip Retribusi.
2
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA YOGYAKARTA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA TENTANG RETRIBUSI
KEBERSIHAN
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
a. Daerah adalah Daerah Kota Yogyakarta;
b. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Yogyakarta;
c. Walikota ialah Walikota Yogyakarta;
d. Pejabat ialah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang retribusi daerah sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam
bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis lembaga, bentuk usaha
dan bentuk badan lainnya;
f. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan;
g. Kebersihan adalah keadaan bersih yang sesuai dengan tata lingkungan yang memenuhi harapan
untuk menjadikan sebuah kota yang berkembang secara dinamis dan mewujudkan keseimbangan
berbagai fenomena yang serasi sehingga memberikan kenyamanan bagi warga maupun
pengunjung/wisatawan;
h. Retribusi kebersihan yang selanjutnya disebut retribusi adalah pungutan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah kepada masyarakat atas jasa penyelenggaraan pelayanan kebersihan;
i. Wajib Retribusi ialah orang pribadi atau badan yang menurut Peraturan Daerah ini diwajibkan untuk
melakukan pembayaran retribusi;
j. Sampah adalah benda yang berbentuk padat dari bahan basah (organik) maupun kering (an
organik), yang sudah tidak terpakai lagi;
k. Tempat sampah adalah tempat untuk menampung sampah yang sifatnya terbatas, diletakkan pada
tempat-tempat tertentu;
l. Tempat Pembuangan Sampah Akhir yang selanjutnya disingkat TPSA adalah tempat atau lahan
untuk membuang sampah yang berasal dari tempat pembuangan sampah sementara dan atau
tempat lain;
m. Tempat Pembuangan Sampah Sementara yang selanjutnya disingkat TPSS adalah tempat atau
lahan untuk menampung sampah sebelum sampah tersebut diangkut ke tempat pembuangan
sampah akhir;
n. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat keputusan yang
menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;
o. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan
tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga atau denda.
3
BAB II
NAMA, OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI
Pasal 2
Dengan nama Retribusi kebersihan adalah setiap pembayaran atas jasa pelayanan kebersihan yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah.
Pasal 3
Obyek Retribusi adalah pemberian pelayanan kebersihan yang meliputi :
a. Pengambilan, pengumpulan dan pengangkutan sampah dari tempat sampah ke TPSA;
b. Pengambilan dan pengangkutan sampah dari TPSS ke TPSA;
c. Pemusnahan/pemanfaatan sampah di TPSA;
d. Penyediaan lokasi TPSS dan TPSA.
Pasal 4
Subyek Retribusi ialah orang pribadi atau badan yang mendapatkan dan memanfaatkan/menikmati
Pelayanan Kebersihan di Daerah.
BAB III
GOLONGAN RETRIBUSI
Pasal 5
Retribusi Kebersihan digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum.
BAB IV
CARA MENGUKUR TINGKAT PENGGUNAAN JASA
Pasal 6
Tingkat Penggunaan Jasa diukur berdasarkan volume sampah, lokasi sampah, golongan wajib retribusi,
jumlah penghuni dan atau pengunjung, luas persil dan bangunan serta kelas jalan.
BAB V
PRINSIP DAN SASARAN DALAM PENETAPAN
STRUKTUR DAN BESARAN TARIF
Pasal 7
Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besaran tarif retribusi didasarkan pada aspek
kemampuan masyarakat dan aspek keadilan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa.
BAB VI
STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF
Pasal 8
(1) Struktur dan besarnya tarif retribusi ditetapkan sebagai berikut :
I. Wajib Retribusi Komersial
NO.
URAIAN JENIS WAJIB RETRIBUSI
KOMERSIAL
TARIF PER BULAN (Rp)
1. HOTEL
a. Bintang 5
Kelompok A 819.000,-
Kelompok B 756.000,-
Kelompok C 630.000,-
b. Bintang 4
Kelompok A 487.500,-
Kelompok B 450.000,-
Kelompok C 375.000,-
c. Bintang 3
Kelompok A 175.500,-
Kelompok B 162.000,-
Kelompok C 135.000,-
4
d. Bintang 2
Kelompok A 110.000,-
Kelompok B 101.500,-
Kelompok C 84.500,-
e. Bintang 1
Kelompok A 78.000,-
Kelompok B 72.000,-
Kelompok C 60.000,-
f. Melati 1
Kelompok A 59.500,-
Kelompok B 55.000,-
Kelompok C 45.000,-
g. Melati 2
Kelompok A 44.000,-
Kelompok B 40.500,-
Kelompok C 33.500,-
h. Melati 3
Kelompok A 30.000,-
Kelompok B 28.000,-
Kelompok C 23.000,-
i. Penginapan
Kelompok A 19.500,-
Kelompok B 18.000,-
Kelompok C 15.000,-
2. TOKO
a. Kelompok A
Besar 162.000,-
Sedang 54.000,-
Kecil 7.200,-
b. Kelompok B
Besar 108.000,-
Sedang 48.000,-
Kecil 4.500,-
c. Kelompok C
Besar 54.000,-
Sedang 24.000,-
Kecil 3.000,-
3 RUMAH MAKAN
a. Kelompok A
Besar 72.000,-
Sedang 40.500,-
Kecil 9.000,-
b. Kelompok B
Besar 48.000,-
Sedang 27.000,-
Kecil 7.500,-
c. Kelompok C
Besar 24.000,-
Sedang 13.500,-
Kecil 4.500,-
4. PEDAGANG KAKI LIMA
a. Non Makanan.
Kelompok A 7.200,-
Kelompok B 4.500,-
Kelompok C 3.000,-
5
b. Makanan.
Kelompok A 9.000,-
Kelompok B 7.500,-
Kelompok C 4.500,-
5. TEMPAT OLAH RAGA
Besar 72.000,-
Sedang 48.000,-
Kecil 12.000,-
6. TEMPAT HIBURAN/REKREASI
Besar 216.000,-
Sedang 48.000,-
Kecil 6.000,-
7. USAHA PERGUDANGAN
Besar 162.000,-
Sedang 48.000,-
Kecil 9.000,-
8. KEBUN BINATANG 540.000,-
9. INDUSTRI BARANG
Besar 756.000,-
Sedang 216.000,-
Kecil 24.000,-
10. USAHA JASA
Besar 162.000,-
Sedang 48.000,-
Kecil 9.000,-
11. BENGKEL
Mobil.
-Besar 72.000,-
-Sedang 48.000,-
-Kecil 36.000,-
Motor.
-Besar 36.000,-
-Sedang 24.000,-
-Kecil 20.000,-
Sepeda. 3.000,-
12. STASIUN KERETA API 432.000,-
13. ASRAMA PONDOKAN
Besar 30.000,-
Sedang 18.000,-
Kecil 9.000,-
14. PASAR
Pasar Pemerintah Vol. Sampah x Rp. 3.000,-/M3
Besar (Mall, Departemen Store) 540.000,-
Sedang (Supermarket/Swalayan) 216.000,-
Kecil (Mini Market dan Pasar Tradisional
Swasta) 90.000,-
15. TERMINAL ANGKUTAN UMUM Vol.Sampah x Rp. 3.000,-/M3
16. TEMPAT PARKIR Vol.Sampah x Rp. 3.000,-/M3
17. APOTIK/TOKO OBAT
Kelompok A 18.000,-
Kelompok B 12.000,-
Kelompok C 6.000,-
6
II. Wajib Retribusi Non Komersial
NO.
URAIAN JENIS WAJIB RETRIBUSI NON
KOMERSIAL TARIF PER BULAN (Rp)
1. RUMAH SAKIT
-Tipe B 360.000,-
-Tipe C 180.000,-
- Rumah sakit khusus, poliklinik,
laboratorium, Rumah Bersalin. 90.000,-
- Puskesmas/Puskesmas pembantu 9.000,-
2. LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL
Besar 45.000,-
Sedang 1 24.000,-
Sedang 2 13.500,-
Kecil 1 9.000,-
Kecil 2 6.000,-
3. LEMBAGA PENDIDIKAN NON FORMAL
Besar 45.000,-
Sedang 24.000,-
Kecil 6.000,-
4. KANTOR/TEMPAT PRAKTEK PROFESI 9.000,-
5.
KANTOR PEMERINTAH NON
BUMN/BUMD/YAYASAN
Besar 81.000,-
Sedang 24.000,-
Kecil 6.000,-
6. MUSEUM 9.000,-
7. TEMPAT IBADAH/PANTI SOSIAL 2.250,-
8. RUMAH TANGGA
Kelompok A
Besar 9.000,-
Sedang 7.200,-
Kecil 1 3.600,-
Kecil 2 2.700,-
Kelompok B
Besar 6.000,-
Sedang 4.800,-
Kecil 1 3.000,-
Kecil 2 1.800,-
Kelompok C
Besar 3.000,-
Sedang 2.400,-
Kecil 1 1.500,-
Kecil 2 1.200,-
III. Penyelenggaraan Keramaian
NO. JUMLAH PENGUNJUNG/TAMU (ORANG) TARIF PER HARI (Rp)
1 Sampai dengan 500 orang 54.000,-
2 501 s/d 2000 orang 72.000,-
3 Lebih dari 2000 orang 108.000,-
7
IV. Tarif retribusi pembuangan sampah lansung ke TPSA bukan oleh petugas, setiap 1 M3
dikenakan biaya Rp 3.000,-.
V. Tarif retribusi untuk pelayanan insidentil pembuangan sampah langsung dari sumber sampah
ke TPSA oleh petugas dengan menggunakan Truk, setiap 1 M3 dikenakan biaya Rp. 6.000,-
(2) Bagi Wajib Retribusi yang mempunyai beberapa jenis usaha dalam satu lokasi, hanya dikenakan
satu retribusi kebersihan dari tarif jenis usaha yang terbesar.
BAB VII
WILAYAH PEMUNGUTAN
Pasal 9
Retribusi yang terutang dipungut di wilayah Daerah.
BAB VIII
MASA RETRIBUSI DAN SAAT RETRIBUSI TERUTANG
Pasal 10
(1) Masa retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi wajib retribusi
untuk memanfaatkan fasilitas Pelayanan Kebersihan.
(2) Masa retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, adalah sebagamana tersebut dalam
Pasal 8 Peraturan Daerah ini.
Pasal 11
(1) Saat Retribusi terutang adalah pada saat diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang
dipersamakan.
(2) Bentuk dan isi SKRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan
Walikota.
BAB IX
TATA CARA PEMUNGUTAN
Pasal 12
(1) Pemungutan Retribusi tidak dapat diborongkan.
(2) Kegiatan pemungutan retribusi dapat dikerjasamakan dengan pihak swasta/badan/lembaga
masyarakat.
(3) Retribusi dipungut dengan menggunakan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(4) Tata cara pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
BAB X
TATA CARA PEMBAYARAN
Pasal 13
(1) Pembayaran Retribusi harus dilakukan secara tunai.
(2) Pembayaran Retribusi dapat dilakukan bulanan atau tahunan.
(3) Pembayaran Retribusi dibayarkan dalam bulan berjalan dan selambat-lambatnya tanggal 20 (dua
puluh) bulan berikutnya.
(4) Kepada Wajib Retribusi diberikan Tanda Bukti Pembayaran yang sah.
(5) Tata cara pembayaran Retribusi ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
8
BAB XI
SANKSI ADMINISTRASI
Pasal 14
Dalam hal wajib retribusi tidak membayar tepat waktunya atau kurang membayar dikenakan sanksi
administrasi berupa denda sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang atau
kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD.
BAB XII
TATA CARA PENGURANGAN, KERINGANAN DAN
PEMBEBASAN RETRIBUSI
Pasal 15
(1) Walikota dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi.
(2) Tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Pasal ini, ditetapkan dengan keputusan Walikota.
BAB XIII
PENGHITUNGAN PENGEMBALIAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN RETRIBUSI
Pasal 16
(1) Wajib retribusi dapat mengajukan permohonan kepada Walikota atau pejabat yang ditunjuk untuk
mengembalikan kelebihan pembayaran retribusi.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini harus diajukan secara tertulis dan atas
kelebihan pembayaran retribusi tersebut dapat langsung diperhitungkan terlebih dahulu dengan
utang retribusi dan atau sanksi administrasi oleh Walikota atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pasal ini yang berhak atas kelebihan
pembayaran tersebut dapat langsung diperhitungkan dengan pembayaran retribusi selanjutnya.
BAB XIV
KADALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 17
(1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga)
tahun terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali apabila Wajib Retribusi melakukan tindak
pidana dibidang retribusi.
(2) Kadaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, tertangguhkan
apabila:
a. diterbitkan surat teguran, atau
b. ada pengakuan utang retribusi dari Wajib Retribusi baik langsung maupun tidak langsung.
BAB XV
DANA PENUNJANG KEBERSIHAN LINGKUNGAN
Pasal 18
(1) Untuk menunjang kegiatan pembinaan, pengelolaan kebersihan lingkungan serta pemungutan
retribusi kebersihan, disediakan anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebesar
35% (tiga puluh lima persen) dari realisasi pendapatan Retribusi Kebersihan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pembagian anggaran kegiatan pembinaan, pengelolaan kebersihan lingkungan dan pemungutan
retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, ditetapkan dengan Keputusan Walikota.
9
BAB XVI
KETENTUAN PIDANA
Pasal 19
(1) Wajib Retibusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah
diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah
retribusi yang terutang.
(2) Pengenaan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, tidak mengurangi kewajiban
Wajib Retribusi untuk membayar retribusinya.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini, adalah pelanggaran.
BAB XVII
PENYIDIKAN
Pasal 20
Penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Daerah ini
dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pemerintah Daerah.
Pasal 21
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam
pasal 20 Peraturan Daerah ini berwenang :
a. menerima, mencari mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak
pidana;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana;
c. meminta keterangan dan barang bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak
pidana;
d. memeriksa buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumendokumen
lain, serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
g. menyuruh berhenti, melarang seseorang meningggalkan ruangan atau tempat pada saat
pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa
sebagaimana dimaksud pada huruf e Pasal ini;
h. mengambil sidik jari dan memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik POLRI bahwa tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik
POLRI memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana, menurut hukum yang
dapat dipertanggungjawabkan.
BAB XVIII
PENGAWASAN
Pasal 22
Pengawasan pelaksanaan Peraturan Daerah ini menjadi wewenang Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya akan
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Walikota.
10
Pasal 24
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 27 Juli 2002
WALIKOTA YOGYAKARTA
ttd.
H. HERRY ZUDIANTO
Disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota
Yogyakarta dengan Keputusan DPRD
Nomor : 45/K/DPRD/2002
Tanggal : 27 Juli 2002
Diundangkan dalam Lembaran Daerah Kota
Yogyakarta
Nomor : 4 Seri B
Tanggal : 30 Juli 2002
SEKRETARIS DAERAH KOTA YOGYAKARTA
ttd
DRS. HARULAKSONO
Pembina Utama Muda
NIP. 490013927
11
PENJELASAN
PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA
NOMOR 21 TAHUN 2002
TENTANG
RETRIBUSI KEBERSIHAN
I. UMUM
Bahwa retribusi persampahan yang diatur dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingkat II Yogyakarta Nomor 6 Tahun 1995 tentang Persampahan sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan keadaan, oleh karena itu harus diganti dan disesuaikan dengan
kondisi ekonomi sekarang.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, yang
ditindal lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah,
maka retribusi kebersihan digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa
yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan
kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Besarnya Retribusi Kebersihan pada Peraturan Daerah ini dihitung berdasarkan rasa keadilan,
kemampuan masyarakat dengan memperhatikan budaya masyarakat, yang selanjutnya
digunakan untuk menunjang peningkatan pelayanan kepada masyarakat di bidang kebersihan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 s/d Pasal 7 : Cukup jelas.
Pasal 8 ayat (1)
Romawi I : Yang termasuk wajib retribusi komersial antara lain adalah
usaha/kegiatan bidang pariwisata, perdagangan, industri,
pergudangan, jasa dan yang sejenis.
Nomor 1 : Pengelompokan HOTEL.
Klasifikasi Hotel tersebut berdasarkan ketentuan peratutan
perundang-undangan yang berlaku.
Yang termasuk Penginapan, yaitu Penginapan Remaja,
Pondok Wisata dan yang sejenis.
a : Yang dimaksud dengan wajib retribusi Kelompok A adalah
wajib retribusi yang berada di Jalan Nasional dan Jalan
Propinsi.
§ Yang dimaksud dengan Jalan Nasional adalah jalan
umum yang wewenang pembinaannya pada Menteri.
§ Yang dimaksud dengan Jalan Propinsi adalah jalan
umum yang wewenang pembinaannya pada
Gubernur Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yang dimaksud Wajib Retribusi Kelompok A adalah
wajib Retribusi di :
- Jalan Magelang
- Jalan Diponegoro
- Jalan Jendral Sudirman
- Jalan Jendral Urip Sumoharjo
- Jalan Laksda Adi Sucipto
- Jalan P. Mangkubumi
- Jalan Malioboro
- Jalan Jendral A.Yani
12
- Jalan Trikora
- Jalan KHA. Dahlan
- Jalan P. Senopati
- Jalan Mayor Suryotomo
- Jalan Mataram
- Jalan Kusumanegara
- Jalan Sultan Agung
- Jalan Brigjen. Katamso
b : Yang dimaksud dengan wajib retribusi Kelompok B adalah
wajib retribusi yang berada di Jalan Kota.
Yang dimaksud dengan Jalan Kota adalah jalan umum
yang wewenang pembinaannya pada Walikota.
Yang dimaksud Wajib Retribusi Kelompok B adalah wajib
Retribusi di :
- Jalan A.M . Sangaji
- Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo
- Jalan Dr. Sutomo
- Jalan Ipda Tut Harsono
- Jalan Gedongkuning
- Jalan R.E. Martadinata
- Jalan Veteran
- Jalan Menteri Supeno
- Jalan Kol . Sugiyono
- Jalan Mayjen. Sutoyo
- Jalan Letjen. S. Parman
- Jalan Letjen. MT. Haryono
- Jalan KH. Wachid Hasyim
- Jalan Kapten Tendean
- Jalan HOS. Tjokroaminoto
- Jalan Kyai Mojo
- Jalan Bhayangkara
- Jalan Jogonegaran
- Jalan Gandekan
- Jalan Jlagran
- Jalan Tentara Pelajar
- Jalan Pasar Kembang
- Jalan Ngeksigondo
- Jalan Abu Bakar Ali
- Jalan Achmad Jazuli
- Jalan Suryatmajan
- Jalan Perwakilan
- Jalan Pajeksan
- Jalan Dagen
- Jalan Suryawijayan
- Jalan Letjend Suprapto
- Jalan C. Simanjuntak
- Jalan Cik Di Tiro
- Jalan Gejayan
- Jalan Ibu Ruswo
- Jalan Kauman
- Jalan H. Agus Salim
- Jalan Ketandan
- Jalan Ketandan Lor
- Jalan Robert Walter Monginsidi
- Jalan Hayam Wuruk
- Jalan Gajah Mada
- Jalan Taman Siswa
- Jalan Prawirotaman
- Jalan Parangtritis
- Jalan Tamansari
- Jalan Patangpuluhan
13
- Jalan Sugeng Jeroni
- Jalan Nyi Ahmad Dahlan
- Jalan Ngasem
- Jalan Mangkuyudan
- Jalan Tirtodipuran
- Jalan Suryodiningratan
- Jalan Suryaden
- Jalan Bantul
- Jalan D.I Panjaitan
- Jalan Sisingamangaraja
- Jalan-jalan di Kompleks Kotabaru
- Serta jalan Kota selain yang telah disebutkan di
atas.
c : Yang dimaksud dengan wajib retribusi Kelompok C adalah
wajib retribusi yang berada di Jalan Lingkungan.
Yang dimaksud dengan Jalan Lingkungan adalah jalan
umum yang wewenang pembinaannya pada Kelurahan
atau warga masyarakat.
Nomor 2 : Pengelompokan TOKO.
Besar : pegawai/penghuni lebih dari 50 orang
Sedang : jumlah pegawai/penghuni 10 sampai dengan 50
orang .
Kecil : jumlah pegawai/penghuni kurang dari 10 orang
(warung kelontong, warung kecil dan yang
sejenis).
(Penjelasan kelompok sesuai dengan penjelasan Pasal 8
ayat (1) Romawi 1 Nomor 1).
Nomor 3 : Pengelompokan RUMAH MAKAN.
Besar : menyediakan lebih dari 60 kursi.
Sedang : menyediakan 30 sampai dengan 60 kursi
Kecil : menyediakan kurang dari 30 kursi termasuk di
dalamnya warung makan, lesehan, depot kecil
dan yang sejenis.
(Penjelasan kelompok sesuai dengan penjelasan Pasal 8
ayat (1) Romawi I Nomor 1).
Nomor 4 : Pengelompokan PEDAGANG KAKI LIMA berdasarkan
lokasi tempat usaha.
Kelompok A : Yang berjualan di jalan dengan kelompok A.
Kelompok B : Yang berjualan di jalan dengan kelompok B.
Kelompok C : Yang berjualan di jalan dengan kelompok C.
(Penjelasan kelompok sesuai dengan penjelasan Pasal 8
ayat (1) Romawi I Nomor 1).
Nomor 5 : Pengelompokan TEMPAT OLAH RAGA.
Besar : termasuk di dalamnya Gelanggang Olah
Raga/lapangan olah raga.
Sedang : fitness centre, rumah bilyard dan yang sejenis
dengan jumlah pegawai/pengunjung lebih dari
20 orang per hari.
Kecil : fitness centre, rumah bilyard dan yang sejenis
dengan jumlah pegawai/pengunjung sampai
dengan 20 orang per hari.
Nomor 6 : Pengelompokan TEMPAT HIBURAN/REKREASI
Besar : termasuk di dalamnya Pura Wisata dan yang
sejenis.
14
Sedang : termasuk di dalamnya Karaoke, Bioskop,
Diskotik, Kafe, Pusat Kesehatan dan Kebugaran
dan yang sejenis.
Kecil : termasuk di dalamnya Play Station, Video game
video rental dan yang sejenis.
Nomor 7 : Pengelompokan PERGUDANGAN
Besar : Luas area lebih dari 500m2.
Sedang : Luas area antara150 m2 sampai 500m2.
Kecil : Luas area kurang dari 150 m2.
Nomor 8 : KEBUN BINATANG adalah Kebun Binatang Gembira Loka
Nomor 9 : Pengelompokan INDUSTRI.
Termasuk di dalamnya industri makanan, peralatan/
perabot rumah tangga, kain, kerajinan kulit, sepatu, SPBU,
BUMN/BUMD dan lain-lain yang sejenis.
Besar : jumlah pegawai/penghuni lebih dari 50
orang/dengan modal lebih dari 500 juta.
Sedang : jumlah pegawai/penghuni10 sampai dengan 50
orang/dengan modal antara 200 – 500 juta.
Kecil : jumlah pegawai/penghuni kurang dari 10
orang/dengan modal kurang dari 200 juta
(industri rumah tangga).
Nomor 10 : Pengelompokan USAHA JASA.
Termasuk di dalamnya Bank, Wartel, Warnet, Rental
Komputer, PLN, Kantor Pos, Jasa Pengiriman, Salon,
Konsultan dan lain-lain yang sejenis.
Besar : jumlah pegawai/penghuni lebih dari 50 orang.
Sedang : jumlah pegawai/penghuni 10 sampai dengan 50
orang.
Kecil : jumlah pegawai/penghuni kurang dari 10 orang.
Nomor 11 : Pengelompokan BENGKEL.
Mobil : Besar, luas area diatas 500m2
Sedang, luas area 200 m2 s/d 500m2
Kecil, luas area kurang dari 200 m2
Motor : Besar, luas area diatas 50m2
Sedang, luas area 25 m2 s/d 50m2
Kecil, luas area kurang dari 25 m2
Sepeda : Cukup jelas.
Nomor 12 : STASIUN KERETA API.
Yang dimaksud adalah Stasiun Tugu dan Stasiun
Lempuyangan.
Nomor 13 : ASRAMA/PONDOKAN.
Yang dimaksud di sini adalah asrama
pegawai/karyawan/mahasiswa/pelajar, tempat kos dan
yang sejenis.
Besar : Jumlah penghuni lebih dari 30 orang.
Sedang : Jumlah penghuni 15 sampai dengan 30 orang.
Kecil : Jumlah penghuni kurang dari 15 orang.
Nomor 14 : PASAR
Pasar Pemerintah : Pasar milik Pemerintah yang
pembuangan sampahnya ke TPSA
masih dilaksanakan oleh instansi
yang ditunjuk Walikota untuk
mengurus kebersihan.
Besar : Dep. Store, Mall dan yang sejenis
Sedang : Supermarket/Swalayan
Kecil : Mini Market dan Pasal Tradisional milik
Masyarakat/lembaga swasta.
15
Nomor 15 : TERMINAL ANGKUTAN UMUM.
Termasuk di dalamnya terminal bis, terminal taxi, dan
yang sejenis yang pembuangan sampahnya dari TPSS ke
TPSA dilaksanakan oleh instansi yang ditunjuk Walikota
untuk mengurusi kebersihan.
Nomor 16 : TEMPAT PARKIR.
Tempat parkir yang dimiliki Pemerintah Daerah maupun
swasta yang pembuangan sampahnya dari TPSS ke TPSA
dilaksanakan oleh instansi yang ditunjuk Walikota untuk
mengurusi kebersihan.
Nomor 17 : Pengelompokan APOTIK berdasarkan lokasi tempat usaha.
Kelompok A : Yang berjualan di jalan dengan kelompok A.
Kelompok B : Yang berjualan di jalan dengan kelompok B.
Kelompok C : Yang berjualan di jalan dengan kelompok C.
(Penjelasan kelompok sesuai dengan penjelasan Pasal 8
ayat (1) Romawi 1 Nomor 1).
Romawi II : Yang termasuk wajib retribusi non komersial antara lain
rumah sakit, rumah tangga, tempat ibadah dan panti sosial,
kantor pemerintah non BUMN/BUMD, Kantor Yayasan,
museum, sekolah, dan yang sejenis.
Nomor 1 : Cukup jelas.
Nomor 2 : Pengelompokan SEKOLAH/LEMBAGA PENDIDIKAN
FORMAL.
Besar : Lembaga Pendidikan setingkat Perguruan
Tinggi (Universitas, Akademi, Sekolah Tinggi,
dan yang sejenis).
Sedang 1: Sekolah-sekolah yang setingkat dengan SLTP,
SMU dan yang sejenis dengan jumlah siswa
lebih dari 240 orang.
Sedang 2: Sekolah-sekolah yang setingkat dengan SLTP,
SMU dan yang sejenis, jumlah siswa kurang
dari 240 orang.
Kecil 1 : Sekolah-sekolah yang setingkat dengan SD,
TK, Play Group dan yang sejenis, jumlah siswa
lebih dari 180 orang.
Kecil 2 : Sekolah-sekolah yang setingkat dengan SD,
TK, Play Group dan yang sejenis, jumlah siswa
kurang dari 180 orang.
Nomor 3 : Pengelompokan LEMBAGA PENDIDIKAN NON FORMAL.
Yang dimaksud dengan Lembaga Pendidikan Non Formal
adalah tempat kursus dan bimbingan belajar yang
sejenisnya.
Besar : jumlah pegawai dan siswa lebih dari 75 orang.
Sedang : jumlah pegawai dan siswa 30 sampai dengan
75 orang.
Kecil : jumlah pegawai dan siswa kurang dari 30
orang.
Nomor 4 : Pengelompokan KANTOR PEMERINTAH NON
BUMD/BUMN DAN KANTOR YAYASAN.
Besar : jumlah pegawai lebih dari 100 orang.
Sedang : jumlah pegawai 50 sampai dengan 100 orang.
Kecil : jumlah pegawai kurang dari 50 orang.
Nomor 5 : Yang termasuk Kategori Profesi adalah
Advokat/pengacara, Notaris, Akuntan, Dokter dan profesi
lain yang sejenis.
16
Nomor 6 : Cukup jelas.
Nomor 7 : Yang dimaksud dengan TEMPAT IBADAH/PANTI SOSIAL
adalah masjid, gereja, kuil/klenteng, Panti Asuhan, Panti
Werda/Jompo dan yang sejenis.
Nomor 8 : Pengelompokan RUMAH TANGGA
Besar : jumlah penghuni lebih dari 10 jiwa dengan luas
persil lebih dari 500 M2.
Sedang : jumlah penghuni 6 sampai10 jiwa dengan luas
persil antara 200 M2 sampai dengan 500 M2.
Kecil 1 : jumlah penghuni kurang atau sampai dengan 5
jiwa dengan luas persil antara 50 M2 sampai
dengan 200 M2.
Kecil 2 : jumlah penghuni antara kurang atau sampai
dengan 5 jiwa denga luas persil kurang dari 50
M2.
(Penjelasan kelompok sesuai dengan penjelasan Pasal 8
ayat (1) Romawi I Nomor 1).
Romawi III : Yang dimaksud dengan penyelenggara keramaian adalah
penyelenggara keramaian yang bersifat insidentil atau tidak
tetap, seperti pertandingan olah raga, pasar malam/bazar,
pertunjukan musik, dan kegiatan lain yang sejenis yang
melibatkan orang dalam jumlah besar.
Romawi IV dan V : Cukup jelas.
Pasal 8 ayat (2) : Cukup jelas.
Pasal 9 s/d Pasal 11 : Cukup jelas.
Pasal 12 ayat (1) dan (2) : Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah
bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan retribusi tidak
dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dalam
pengertian ini bukan berarti bahwa Pemerintah Daerah
tidak boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan
sangat selektif dalam proses pemungutan retribusi,
Pemerintah Daerah dapat mengajak bekerja sama badanbadan
tertentu yang karena profesionalismenya layak
dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas
pemungutan jenis retribusi secara efisien. Kegiatan
pemungutan retribusi yang tidak dapat dikerjasamakan
dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan
besarnya retribusi yang terutang, pengawasan penyetoran
retribusi dan penangihan retribusi.
Ayat (3) s/d (5) : Cukup jelas.
Pasal 13 ayat (1) : Tunai adalah pembayaran dilakukan secara Cash pada
satu kali waktu.
ayat (2) : Untuk yang membayar tahunan, Retribusi dibayarkan pada
awal tahun.
Ayat (3) s/d (5) : Cukup jelas.
Pasal 14 s/d Pasal 24 : Cukup jelas.
-------------------------------------

Jumat, 16 Oktober 2009

PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI

ABSTRAK
PERAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN DALAM PEMBINAAN
NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh
angga pramudia

Narapidana tindak pidana korupsi pada umumnya memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi tetap harus dilakukan oleh pemerintah
walaupun narapidana tindak pidana korupsi telah merugikan negara. Pembinaan terhadap
narapidana tindak pidana korupsi dilakukan di lembaga pemasyarakatan. Lembaga
pemasyarakatan sebagai tempat pembinaan narapidana tindak pidana korupsi memiliki peran
penting dalam proses resosialisasi. Penelitian ini juga dilatarbelakangi oleh rencana
pemerintah untuk membangun lembaga pemasyarakatan khusus tindak pidana korupsi.
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan pemerintah untuk membangun
lembaga pemasyarakatan khusus tindak pidana korupsi. Permasalahan dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah peran lembaga pemasyarakatan dan apakah yang menjadi faktor- faktor
penghambat dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana tindak pidana korupsi di
lembaga pemasyarakatan.
Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui peran lembaga pemasyarakatan dalam
pembinaan narapidana tindak pidana korupsi adalah metode normatif-empiris. Pendekatan
normatif dengan mempelajari peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan
pendekatan empiris mencari data secara langsung serta melihat kenyataan yang ada di
lembaga pemasyarakatan sehubungan dengan mekanisme pembinaan narapidana tindak
pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan.
Hasil penelitian di lembaga pemasyarakatan menunjukan bahwa lembaga pemasyarakatan
semaksimal mungkin menjalankan peran yang ideal (ideal role) yaitu peran yang di jalankan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun pada
kenyataannya lembaga pemasyarakatan belum mempunyai aturan khusus tentang pembinaan
narapidana tindak pidana korupsi, sehingga petugas pemasyarakatan menjalankan peran yang
dianggap diri sendiri (perceived role). Lembaga pemasyarakatan juga memiliki peran penting
dalam upaya resosialisasi narapidana tindak pidana korupsi. Pembinaan terhadap
Syafril Zakaria
narapidana tindak pidana korupsi sama dengan narapidana umum lainnya karena belum
adanya peraturan khusus dalam pembinaan narapidana tindak pidana korupsi. Pembinaan
narapidana tindak pidana korupsi memiliki hambatan-hambatan di antaranya: kualitas dan
kuantitas petugas pemasyarakatan, belum ada aturan khusus untuk pembinaan narapidana
tindak pidana korupsi, fasilitas lembaga pemasyarakatan yang kurang memadai, dan faktorfaktor
penghambat lainnya.
Lembaga pemasyarakatan memiliki peran penting dalam upaya resosialisasi narapidana
tindak pidana korupsi. Pembinaan yang dilakukan di lembaga pemasyarakatan perlu
didukung oleh sumber daya manusia petugas pemasyarakatan yang berkualitas, aturan hukum
khusus yang mengatur tentang pembinaan narapidana tindak pidana korupsi dan fasilitas
yang memadai. Peningkatan sumber daya manusia petugas pemasyarakatan dan fasilitas
lembaga pemasyarakatan perlu dilakukan oleh jajaran departemen hukum dan ham agar dapat
meningkatkan pembinaan narapidana tindak pidana korupsi di lembaga pemasyarakatan.